GUE MUSLIM
(Konsep Hidup The Real Muslim)
Ibrahim
adalah salah satu dari Rasul-Rasul terbaik, berakhlak mulia, tunduk
kepada Allah, simbol keislaman seorang hamba. Potret kehidupan beliau
yang patut kita teladani sangatlah banyak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang Nabi Ibrahim Alaihissallam:
إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ ۖ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“Ketika
Rabb-nya berfirman kepadanya: ‘Tunduk patuhlah!’ Ibrahim menjawab: ‘Aku
tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.’” (QS. Al-Baqarah: 131). Nabi
Ibrahim Alaihissallam memanjatkan doa di hari pertama pernikahannya
dengan seorang bangsawan yang masih kerabat beliau; Sarah Alaihissallam
dengan doa, "Rabbi habli minashshalihin". Doa yang Allah abadikan dalam surat Ash-Shaffat ayat 100,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Duhai
Tuhanku, anugerahkanlah bagiku (seorang anak) yang termasuk orang
shalih.” (QS. Ash-Shaffat: 100). Setelah berpuluh-puluh tahun ia berdoa,
akhirnya Allah pun memberikan kabar gembira.
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ “
Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 101)
Kapan itu terjadi?
Pada saat beliau berusia 86 tahun. Allahuakbar..
Bayangkan, dari hari pertama married, ia selalu berdoa "Rabbi habli minashshalihin" hingga puluhan tahun kemudian.
Ini
seorang muslim, ia menyerah kepada takdir Allah Subhanahu wa ta'ala. Ia
menyerahkan takdirnya kepada Allah, dan ia syukuri takdir tersebut,
walaupun harus menanti 86 tahun. Tidak ada umpatan, tidak ada celaan,
tidak ada omongan "Allah nggak adil", dsb.
Inilah PROFIL seorang muslim yaitu MENYERAH. Bukan hanya kepada syariat namun juga kepada takdir Allah Subhanahu wa ta'ala.
Setelah
86 tahun menanti, akhirnya seorang bayi yang sangat lucu terlahir dari
istri kedua beliau, Hajar. Lalu turun perintah dari Allah bahwa ia harus
berhijrah tanpa istri dan anaknya yang beliau cintai tersebut,
meninggalkan mereka di tanah tandus yang bernama Makkatul Mukarromah. Ia
diperintahkan Allah untuk kembali ke tanah Palestina.
Mendengar
perintah tersebut, Ibrahim pun meninggalkan Hajar dan anaknya. Sang
istri terus memanggil sambil mengejar Ibrahim, namun Ibrahim terus
berjalan tanpa menoleh sedikit pun, sampai sebuah pertanyaan dari Hajar
terlontar, "Apakah Allah yang memerintahkan engkau agar meninggalkan
kami seperti ini?" Ibrahim pun berhenti. Lalu menjawab, "na'am". Ibrahim
menjawab tetap tanpa menoleh ke belakang.
Setelah
itu Hajar pun berbalik menuju anaknya yang berada di sisi Ka'bah,
dengan penuh keyakinan di dalam dada bahwa Allah tidak akan
menyia-nyiakan dirinya dan anaknya.
Itu
Islam. Pertanyaannya bukanlah "Apa hikmahnya?" atau "Apa untungnya ini
buat gue?", tapi "Apakah ini perintah Allah?" Jangan kalah sama
perempuan.. Hajar wanita tulen, ditinggal di padang batu kota Makkah
sendirian bersama anaknya, namun ia yakin bahwa Allah tidak akan
menyia-nyiakan dirinya dan Ismail anaknya.
Kita laki-laki tulen, di PHK saja down? Anda nggak yakin Allah Ar-Razzaq?
Anda makan uang haram lalu tidak berani resign?
Mana keimanan? Mana keyakinan kepada Allah?
Mana ayat-ayat yang kita baca setiap hari "Arrahmaanirrahiim"?
Jika Allah memberikan rezeki kepada orang-orang kafir, mungkinkah Allah menyia-nyiakan orang yang beriman?
Pernahkah ada Sahabat ketika dihadapkan terhadap sebuah larangan atau
perintah bertanya, "Apa hikmahnya ya Rasul?", tidak ada.. Karena mereka yakin bahwa itulah yang terbaik untuk dirinya.
Muslim itu bukan bertanya.
Muslim itu bukan membantah.
Muslim itu bukan mendebat.
Muslim itu bukan berpikir dan akhirnya meninggalkan perintah dan larangan Allah.
Menyerah.. Itulah MUSLIM.
Ketika Ibrahim sudah tidak bisa lagi melihat istrinya dan istrinya sudah tak bisa lagi melihat suaminya, baru Ibrahim menoleh..
Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala yang diabadikan di surat Ibrahim ayat 37.
رَبَّنَا
إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ
بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ
أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ
الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya
Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di
lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati, ya
Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka
jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri
rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS.
Ibrahim: 37).
Nabi
Ibrahim berdoa meminta pertolongan, bukan mendebat, menyerang, atau
memberikan statement.. Ketika kita menyerah kepada Allah, lakukan hal
yang bisa kita lakukan selama tidak haram.
Hajar
hanya bisa bolak-balik Shafa Marwah untuk mencari makan, maka beliau
lakukan hal tersebut meski secara logika nihil. Di sana tidak ada
tumbuhan, hewan, atau apapun yang bisa dikonsumsi. Inilah ikhtiar. Dan
ikhtiar itu di jalan yang halal. Lalu biarkan Allah yang melanjutkan
perjuangan kita.
Begitu di putaran ketujuh di bukit Marwah, terdengar ada suara yang memanggil namanya.
Hajar,
seorang wanita yang tidak takut kepada selain Allah, dengan lantang
berteriak, "Tunjukkan jati dirimu di hadapanku!". Dia tidak ada pilihan
lain, karena anaknya ada di Ka'bah, satu-satunya jalan ya hadapi.
Ternyata, sosok tersebut adalah malaikat Jibril, ia berada persis
disamping anaknya.
Lalu
malaikat Jibril memukulkan permukaan tanah hingga akhirnya keluarlah
air zam-zam. Hajar pun berlari menuju sumber air tersebut, lalu ia minum
dan diberikan pula kepada anaknya. Malaikat Jibril pun berkata,
"Kalian
tidak akan disia-siakan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. Anakmu ini dan
bapaknya kelak akan membangun rumah Allahu Tabaraka wa ta'ala".
Saudaraku, fight itu penting. Menyerah bukan berarti pasif. Kita
menyerah kepada perintah Allah, lalu kita diperintahkan ikhtiar, menjadi
seorang fighter dalam kehidupan ini. Lakukan yang bisa dilakukan selama
tidak haram, lalu biarkan Allah yang menolong kita.
Allah
ingin kita untuk berjuang, sebagaimana Nabi Musa Alaihissalam
diperintahkan Allah untuk memukulkan tongkatnya ke laut ketika dikejar
tentara Fir'aun sehingga laut bisa terbelah. Apakah Allah tidak bisa
membelah laut tanpa pukulan tongkat Musa? Tentu bisa.. namun Allah ingin
kita tawakkal dan ikhtiar.
Agama
(Islam, -pen) bukan agama logika. Allah Subhanahu wa ta'ala di atas
logika manusia. Agama tidak bertentangan dengan logika, namun logika
kita terbatas. Banyak hal yang kita tidak tahu. Maka jangan timbang
perintah Allah dengan logika kita. Menyerahlah kepada Allah. Menyerah,
lalu fight. Hajar mencari makan dan air dengan lari dari Shafa dan
Marwah, lalu Allah beri dia minum di mana? Dekat Ka'bah. Allah berikan
ia rezeki dari arah yang ia tak duga.
وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ
لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ
اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi
tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 2-3).
Kalau
akal digunakan untuk membantah, yang pantas untuk pertama melakukannya
adalah Ibrahim. Nabi 3 agama. Siapa yang berani mengklaim bahwa dirinya
lebih pintar dari Ibrahim? Bukan kyai saja yang akan bantah Anda kalo Anda mengklaim lebih pintar dari Ibrahim, tapi pendeta pun juga.
Lalu,
mari kita tanya diri kita, sudah pantaskah kita menyandang predikat GUE
MUSLIM ketika perkara nggak isbal aja misalnya Anda nggak mau menyerah?
Apalagi
disuruh sembelih anak.. Dan sebagainya.. Coba kita lihat, kisah Hajar
yang mencari makanan untuk Ismail happy ending atau sad ending? Happy
ending..
Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih Ismail
happy ending atau sad ending? Happy ending.. Allah ganti Ismail dengan
kambing.
Semua "drama" dari Ibrahim mengasah pisau hingga ingin menyembelih itu hanya TEST THE WATER dari Allah, hanya ujian saudaraku..
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2)
Jika ada akhwat hijrah lalu berhijab, besoknya langsung dilamar dengan anak konglomerat, semua akhwat langsung pake jilbab..
Yang
keluar dari pekerjaan riba, lalu langsung dikasih curahan 30 jt, omset
300 jt, semua langsung pada resign.. ini bukan ujian..
Karena hakikatnya hidup ini adalah TEST THE WATER.
Demi Allah semua adalah ujian. Tinggal kita ikuti alur dramanya.. Pengorbanan itu butuh waktu..
Kenikmatan
ada dipengorbanan, dikeringat yang kita cucurkan, jika hidup
lempeng-lempeng saja tidak akan pernah bahagia.. Messi digaji per minggu
milyaran, namun hanya di bangku cadangan, apakah bahagia? Tidak.. ia
akan bahagia ketika menggocek lawan, lepas dari tackle, mencetak angka.
Jika
bayi lahir, siapa yang paling bahagia? Ibu.. karena ibulah yang
mules-mules, yang pengorbanannya paling besar.. Jadi, bahagia itu
sejatinya butuh pengorbanan.
Jika
ingin menggunakan logika untuk mencari hikmah, silahkan. Tapi untuk
membantah atau bertanya itu yang tidak boleh. Bertanyalah kepada ahli
ilmu jika kita orang awam.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka
tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada
mengetahui.” (QS. Al Anbiya’: 7). Jika sudah ada produk hukum yang
tegas, kita harus sami'na wa atho'na (terima dan patuh, -pen). Jika ada
khilaf, tidak semua juga bisa ditoleransikan. Misal, jika ada ustadz
yang men-declare shalat subuh tidak wajib, perlukah ditoleransi? Tidak,
karena bertentangan dengan ijma' (kesepakatan, -pen) ulama.
Menyerah bukan pasrah atau pasif, yaitu menyerah pada konsep Allah, lalu FIGHT.
Sekali lagi, sudah pantaskah kita menyandang predikat GUE MUSLIM?
Semoga bermanfaat.
(Catatan
dari kajian Islam ilmiah The Rabbaanians, Masjid Agung Al-Azhar. "Gue
Muslim 2.0" dengan pemateri Ust. Nuzul Dzikri, Rabu, 13 Dzulhijjah 1437
H/14 September 2016 M)